Kamis, 20 Mei 2010

MENTARIKU<span class=
Tak terasa mentari smart and fun courses telah menginjak usia ke tiga.
Aku ingat alasan pertama yang mendasariku membuka kursus adalah anakku. Aku sangat ingin anakku memiliki kemampuan bahasa Inggris dan bisa menguasai sempoa. Sebagai ibu yang egois aku putuskan untuk mengajarinya sendiri dan Alhamdulillah kebetulan aku memiliki sedikit kemampuan untuk itu. Tapi hmm…ternyata kakang anakku tersayang bila belajar berdua dengan bundanya paling hanya kuat 15 menit, selebihnya keluarlah keluhan-keluhan darinya, “aduuh mataku sakit”, “aduuh kakiku pegel”, dan aduh-aduh lainnya. Aku berpikir mungkin karena tidak ada temen dan kurang tantangan karena salah satu watak yang dimiliki kakangku tersayang adalah dia sangat suka berkompetisi. Akhirnya kuputuskan untuk mengundang saudara sebayanya dan “cling” pikiran itu datang dengan sendirinya, hmm…kenapa tidak buka kursus aja sekalian. Akhirnya kuputuskan untuk membuka kursus sempoa, bahasa Inggris dan calistung. Hmm…peminatnya lumayan juga.
Alhamdulillah, benar perkiraanku sejak ada teman kursus anakku semangat sekali belajar. Waktu kursus yang satu jam setengah tidak membuatnya mengeluh, malahan bila kebetulan libur dia malah menagih “Bunda kapan dong kursusnya?”
Seiring dengan waktu, jumlah murid-muridku lumayan juga dan karena tidak tertangani aku hanya memegang kursus sempoa saja dan mengajar anakku, sedangkan untuk kelas-kelas yang lain ditangani oleh guru yang lain. Aku bangga sekali ketika di tahun pertama, sempoa bisa meraih juara nasional kategori basic yang waktu itu diselenggarakan di Bandung. Subhanallah…tak menyangka juga. Tapi yang paling membahagiakanku dan membuatku sangat berarti adalah dengan kursus ini bisa memberdayakan saudara-saudara dan sebagian teman-temanku sebanyak tujuh orang. Gajinya menurutku lumayan lho..
Ditahun ke dua mentari, Alhamdulillah aku mendapatkan beasiswa untuk meneruskan studi S2. Aku sangat mensyukurinya, namun ternyata kuliah dan mengurus kursus kurang bisa sejalan, tugas-tugas kuliah, kesibukanku bekerja di TK, mengajar dan mengelola kursus membuatku keteteran. Aku mencoba mendelegasikan beberapa tugas ke orang yang aku percayai tapi ternyata untuk meng”klik”kan keinginanku membutuhkan perjuangan. Aku putuskan untuk tidak menyerah tapi ternyata itu mengorbankan hal yang paling utama yaitu keluargaku.
Masalah-masalah yang aku hadapi membuatku mensetting ulang tujuan hidupku. Apa sebenarnya keinginanku, apa sebenarnya tujuan hidupku, apa yang sebenarnya Allah SWT inginkan dariku.
Satu kesadaran menohok ulu hatiku, “aku perempuan” ya “aku perempuan”.
Dulu aku marah bila sesuatu dihubungkan dengan “keperempuanku”. Bukankah di lingkungan kita sering kita dengar “kamu jangan begini, kamu kan perempuan”, kamu jangan begitu, kamu kan perempuan” . suebbell kuadrat mendengarnya.
Kesadaran akan keperempuanku saat ini tak membuatku gundah, rasa sayangku pada kakang tersayang membuat egoku terselubung rasa kasih sayang dan mulai saat itu kuputuskan dan kutekadkan aku hanya ingin jadi istri, ibu dan anak yang baik, itu prioritas utamaku.
Keputusan yang aku ambil berimbas pada kursusku. Aku putuskan untuk mundur dan fokus pada prioritas utamaku.
Aku mencoba untuk menyerahkan pengelolaannya pada saudaraku tapi ternyata dia sibuk dengan keluarganya dan sekarang mentari kursus benar-benar vakum. Aku sungguh minta maaf pada murid-murid terakhirku dan orang tuanya karena aku merasa tidak bisa memberikan yang terbaik.
Sebenarnya masih ada kepercayaan dari beberapa orang tua yang ingin mendaftar, dan itu kadang menggodaku untuk meneruskan kursusku. Tapi aku mencoba untuk konsekuen dengan tujuanku saat ini.
Satu cita-citaku saat ini, aku ingin sukses bersama, bukan hanya sukses dan merasa puas sendiri. Aku sudah merencanakan apa yang akan aku lakukan bersama kakangku tersayang, meski metode dan strateginya masih dipikirkan.
Sebenarnya sedih juga harus meninggalkan sesuatu yang kurintis dan yang sebenarnya kucita-citakan. Namun kuputuskan itu semua kutinggalkan dengan kepala tegak dan kuucapkan kata “Bismillahirrahmaanirrahiim”.