Kamis, 29 Oktober 2009

Bunda ikut lomba


Assalamu'alaikum
Dua hari kemarin waktu tanggal 25-26 Oktober 2009, saya nginep di hotel puri Jatinangor..
Eit jangan salah...bukan mau bulan madu ke dua lho.
ceritanya aku kan ikutan lomba guru RA di DEPAG..e.Alhamdulillah lulus seleksi di kabupaten Garut. Dan pada tanggal 24 Oktober 2009 dapat panggilan katanya Alhamdulillah saya masuk seleksi lagi di tingkat propinsi dan hasilnya nanti untuk dikirim ke tingkat Nasional. Ada tiga orang yang lulus seleksi, ,Bu Kartini dari cirebon, Bu Retnowati dari Bekasi dan Bunda Ati dari Garut (He..saya tea...) Jadi kalau untuk pemenang kita sebenarnya sudah juara ke 1/ke 2/ke 3 untuk tingkat propinsi.
(Subhanallah..Alhamdulillah..Allah telah banyak memberi kesempatan , semoga Allah SWT menjadikanku orang yang beryukur dan berperilaku layaknya orang yang bersyukur)
Dua hari di sana dan beberapa hari sebelumnya cukup membuat otakku terporsir..kebetulan di kuliahan lagi banyak tugas dan proposal tesisku dah ditagih dosen.
Banyak hal yang ku dapat,bukan sekedar lombanya.Aku sekamar dengan Ibu Kartini dan Ibu Aisyah.
Ibu Kartini sama denganku ikut lomba Guru RA, obrolan dengan beliau tentang pengalamannya memperkaya wawasanku. Keberanian dan keterus terangan Bu Aisyah membuatku optimis bahwa wanita itu sebenarnya kuat, jika dia yakin bahwa dirinya kuat.
Ada hal lain yang ku dapat..ternyata guru-guru RA yang se Level dengan GURU TK tidak kalah dengan guru-guru lain. Melek Teknologi gitu..!
Penyeleksian dilakukan dengan proses wawancara. Waktu itu aku mempresentasikan makalahku di depan tiga orang juri dan diberi kesempatan selama 10 menit.
Makalah yang kubawakan membahas tentang "Bermain Matematika di Raudhatul Athfal". Sesudah presentasi ada beberapa pertanyaan dari para Juri dan tidak terasa satu jam sudah aku nge-date sama para Juri. Alhamdulillah walaupun pemberitahuannya mendadak aku bisa mempersiapkan slide untuk presentasi dan dengan bantuan rekan-rekan bunda di sekolah aku bisa membawa alat peraga yang dibutuhkan. Bantuan mereka sangaaat berarti, karena waktu yang mendesak aku tidak sempat mewujudkan ide-ideku tantang media yang akan dibawa dan merekalah yang mewujudkannya. Thanks a lot Bunda..
Persiapan untuk lomba membuatku menyisihkan tugas kuliahan. Tapi Alhamdulillah sesudah lomba aku masih punya dua hari menyelesaikan tugas-tugasku, walaupun untuk itu ku harus begadang dan waktu presentasi di tempat kuliah ngwuantuknyaa minta ampun..
Hasil Lomba..sampai saat ini ku belum dapat kabarnya..but anyway Aku berharap yang terbaik dan Aku yakin apapun hasilnya Allah pasti menentukan yang terbaik untukku..karna ku yakin Allah SWT sayaaaaang banget sama aku...he..he..Geer ya..
(Maaf ya kalau aku -ber aku-aku- ga pakai "saya"..biz lebih enak begitu..walau katanya itu menunjukkan ke-egois-an. nggak deh..Aku ini baik dan tidak sombong plus rajin menabung..He..InsyaAllah)

boleh copy paste

buat rekan-rekan, teteh,adek, smua dech..
isi boleh copy paste..dan tolong tulis sumbernya ya..
trims..smoga bermanfaat.
(nie..sekaligus jawaban bwt dek Puspa..
maaf ya..baru kebuka..lagi banyak tugas nih)

Kamis, 08 Oktober 2009

Permen

Minggu ini minggu pertama aku masuk kuliah, setelah hampir sebulan libur. Agak malas juga berangkat apalagi mengingat aku harus meninggalkan anakku seharian.
Tempat kuliahku masih terhitung dekat, hanya butuh waktu kurang lebih empat jam pulang pergi ke tempat kuliah. He..kuliahku kan di Bandung sodara-sodara, di UNINUS tercinta.
Bila ingat kuliah dan anakku campur aduk deh...tapi semalas apapun ku coba tak menunjukkannya di depan dia, sebab aku terobsesi ingin menjadi bunda teladan di matanya. Jadi semalas apapun, aku tetap perlihatkan semangat, sebanyak apapun tugas, aku coba tidak mengeluh, secapek apapun, aku coba tetap tersenyum.
Kayaknya munafik bangetya..Lha iya lah!
Aku teringat kata-kata Mario Teguh "kalau kita berpura-pura untuk tujuan baik menjadi apa yang kita pura-purakan, maka Tuhan akan menolong menjadikannya sungguh-sungguh" kurang lebih begitu yang beliau katakan.
Tapi di suatu pagi aku tersentak, ketika pagi-pagi sekali aku akan berangkat kuliah dan ketika akan ku cium kening anakku untuk pamit, kulihat matanya berkaca-kaca. Aku yang waktu itu amat terburu-buru karena takut kesiangan menghentikan langkahku..dan kucoba untuk tersenyum dan bertanya
"Kakang sayang kenapa menangis?".
Anakku sambil menahan tangisnya berkata "Kakang sedih bunda..ditinggal terus".
Ya Allah..anakku..What must I say??
Akhirnya aku bilang padanya "Kakang sayang, sebenarnya bunda ingin bersama Kakang sebab kalau bersama Kakang bunda sangat senang, tapi sayang.. sekarang bunda harus ke sekolah. Insya Allah nanti kalau pulang kita main lagi..sabar ya..".
Terus terang aku tidak tahu apa yang ku katakan tadi itu benar atau salah..sungguh aku tidak ingin membuatnya trauma karena sering ditinggal.
Peristiwa itu membuatku menata kembali rencana, cita-cita dan keinginan-keinginanku. Aku mencoba memilahnya menjadi beberapa prioritas. Hmm..inilah dia..
Prioritasku yang utama adalah sebagai istri, kemudian sebagai bunda, sebagai anak sebagai individu dan sebagai anggota masyarakat. Berat juga rasanya bagiku yang terbiasa memprioritaskan diri sebagai individu..tapi ku berharap semoga Allah SWT memberiku kekuatan.

Rabu, 07 Oktober 2009

portraits of Sussie..matching curriculum, instruction and assessment

Assalamu'alaikum rekan-rekan!!

Tulisan ini merupakan bagian dari tugas kuliahku, diambil dari jurnal yang berjudul sama dimana di dalamnya dibahas tentang bagaimana penilaian dilakukan dengan berbagai cara dan menghasilkan hasil penilaian dari sudut yang berbeda pula. Selamat membaca..semoga bermanfaat..


Jurnal ini merupakan bagian dari Selected Paper on Educational Evaluation yang disusun oleh Dr. Suhendra Yusuf , M.A. Jurnal tersebut berjudul Portraits of Susie: matching curriculum, instruction and assessment”, yang ditulis oleh Diane L Parker dan Anthony J. Picard. Terbitan tahun 1997, dan terdiri dari 24 halaman.

Diane Parker merupakan seorang pengajar di kelas satu sekolah dasar Wahiawa, Wahiawa. Dia tertarik dengan bagaimana anak-anak membentuk pemahaman mereka dalam matematika dan bahasa.

Anthony J. Picard adalah seorang pengajar di The University Of Hawaii, Honolulu. Dia terlibat di bidang lapangan pengembangan professional dan program pendidikan bagi guru.

Journal ini berisi tentang gambaran dari penilaian yang dilakukan terhadap seorang siswa dengan metode yang berbeda. Dari perbedaan penilaian tersebut menghasilkan gambaran yang berbeda pula dari kondisi siswa yang bersangkutan serta memperlihatkan bagaimana penilaian-penilaian itu berhubungan dengan kurikulum dan pengajaran

Journal ini juga menceritakan pengalaman, penelitian dan penilaian seorang guru terhadap perilaku siswanya ketika dihadapkan pada tugas dalam praktek mengajar. Serta upayanya untuk menjabarkan standar penilaian ke dalam pengembangan kurikulum yang dianggapnya lebih tepat diterapkan kepada siswa-siswa di kelasnya, serta upayanya untuk menyelenggarakan proses pembelajaran yang menyenangkan dan dapat mengungkapkan seluruh potensi yang dimiliki para siswanya yang kemudian selanjutnya melakukan penilaian dari berbagai aspek sehingga hasil penilaiannya lebih bermakna dan dapat dijadikan acuan untuk pengembangan kurikulum dan pemilihan praktek mengajar berikutnya


PORTRAITS OF SUSSIE:

MATCHING CURRICULUM, INSTRUCTION, AND ASSESSMENT

Penilaian dapat dipandang sebagai sebuah usaha dalam membuat gambaran dari pembelajaran siswa, akan tetapi gambaran-gambaran tersebut dapat berbeda-beda tergantung atas apa yang guru fokuskan dalam penilaian tersebut dan hasil dari penilaian akan berbeda berdasarkan fokus yang dipilih. Journal ini menceritakan dua potret penilaian seorang pelajar dan memperlihatkan bagaimana penilaian-penilaian itu berhubungan dengan kurikulum dan pengajaran

Portrait 1

Dalam potret pertama menceritakan seorang siswa bernama Susie yang tinggal di sebuah kota kecil di bagian pulau Oahu, Hawaii. Populasi sekolahnya berisi 650 siswa, dengan kira-kira 20 persen mengikuti program pendidikan khusus, sebuah program beasiswa federal disalurkan melalui pelayanan pendidikan untuk para siswa yang lemah secara ekonomi. Sekolah tersebut melayani tiga proyek, dengan lebih dari 50 persen siswa masuk kualifikasi untuk bebas atau mendapatkan diskon makan siang.

Kelas Susie terdiri dari anak-anak berusia 10 dan sebelas tahun, dengan berbagai macam kelompok dan multi etnik, dengan latar belakang sosial ekonomi yang beragam. Kelas diajar sebagai sebuah kelompok tanpa tingkatan, walaupun berisikan dua tingkatan usia. Susie merupakan tipikal anak usia tujuh tahun, akan tetapi dalam beberapa hal dia unik. Potret berikut menerangkan penampilannya dalam tugas-tugas matematika.

Di bulan Oktober, kelas Susie membutuhkan pengembangan resep lemon untuk proyek khusus. Anak-anak melakukan tes eksperimen rasa dan menemukan bahwa menurut resep yang mereka pilih, setengah dari lemon akan menjadi secangkir air limun. Mereka kemudian diberi tugas untuk menggambarkan berapa banyak lemon yang mereka butuhkan untuk membuat tiga puluh cangkir air limun. Dengan menggunakan pilihan manipulatif, kertas dan pensil, atau yang lainnya, sebaik pilihan yang mereka pilih, untuk menemukan jawaban.

Selama periode kegiatan, guru mencatat kelompok Susie mulai mencoba untuk menghitung potongan-potongan yang menggambarkan potongan-potongan lemon, akan tetapi mereka tidak yakin bagaimana mengembangkan strategi untuk memecahkan masalah. Susie membuat sebuah gambar, menghabiskan beberapa menit untuk mempelajarinya, dan kemudian mengajukan idenya kepada kelompoknya, membimbing mereka untuk memcahkan masalah. Ketika setiap kelompok berbagi proses dan hasil mereka, Susie menerangkan pikirannya. Yang dilakukan Susie adalah mulai dengan menggambar sepuluh lemon, membaginya dalam dua bagian, dan menghitung setiap potongan. Ketika melakukan proses tersebut hanya mendapatkan dua puluh potongan, dia kembali menggambar sepuluh lemon dan mengulangi proses yang tadi dengan menggambar lemon dan menggambar garis-garis, kemudian menghitung satu demi satu sampai mendapatkan tiga puluh. Ketika dia mencapai tiga puluh, sejumlah cangkir limun yang dibutuhkan tercapai, dia kemudian mencoret sisanya, potongan-potongan yang tidak dibutuhkan. Kemudian menghitung potongan lemon dua-dua untuk menentukan berapa banyak lemon yang dibutuhkan sehingga ditemukan jumlah yang tepat yaitu lima belas buah lemon.

Perbuatan Susie dalam tugas tersebut mendemonstrasikan beberapa kualitas yang dinilai dalam standar kurikulum dan evaluasi bagi sekolah matematika sebagaimana tujuan yang diharapkan dalam pembelajaran matematika. Dia mengembangkan dan menerapkan strategi yang diketahuinya untuk memecahkan masalah dengan menghubungkan gambar dan diagram untuk tujuan matematika, memverifikasi dan menerjemahkan hasilnya, kemudian mengkomunikasikan pikirannya. Masalah itu sendiri memerlukan pemikiran yang fleksibel dan komplek dari Susie,

Di bulan Nopember, kelas menikmati sebuah buku yang dinamakan The Tub People. Dalam cerita tersebut, tujuh buah boneka kayu selalu berada di deretan yang sama di jendela pajangan. Dalam pencariannya untuk mengembangkan rangkaian kurikulum. guru mencari situasi cerita yang membimbing mereka sendiri kedalam penjelajahan matematika dengan memberikan pertanyaan “what if…?. Sebuah kesempatan yang muncul dihasilkan dalam masalah yang datang kemudian. Bagaimana kalau .. tidak cukup ruangan yang tersedia dalam jendela pajangan untuk menyimpan manusia tong sehingga berada dalam satu kelompok? Bagaimana kalau mereka disimpan dalam dua box ? Dalam berapa cara mereka dapat disimpan ke dalam dua box . Anak-anak diberi potongan manusia tong dan lembar kerja yang menggambarkan dua box, dengan ruang untuk menunjukkan kombinasi yang ditemukan dengan memanipulasi potongan-potongan. Siswa-siswa diberi pilihan untuk bekerja sendiri, berpasangan atau berkelompok.

Susie mulai bekerja dengan dua anak yang lain dalam masalah tambahan, akan tetapi setelah beberapa waktu dia terlihat asyik berpikir dan kemudian mengajukan usul kepada gurunya untuk meletakkan manusia tong dalam lebih dari dua tong. Setelah guru memberikan persetujuannya, Susie membuat kertas kerjanya dalam tiga box, kemudian dia menambahkannya sehingga menjadi lima, kemudian melanjutkan dengan konsentrasi penuh, tidak peduli pada orang-orang di sekelilingnya. Hal ini penting untuk menandai bahwa walaupun Susie tidak memperhatikan apa yang dua anak dalam kelompoknya kerjakan, mereka memperhatikan apa yang dia mulai, menjadi tertarik, dan bertanya kepadanya tentang itu. Ketika dia menjelaskan, mereka memutuskan bahwa pendekatannya terdengar lebih menyenangkan dan mulai memperluas masalah yang sama. Situasi tersebut merupakan contoh utama dari apa yang standar penilaian tetapkan yang berhubungan dengan mengajar siswa satu sama lain: “hubungan dengan teman-teman menolong anak-anak membangun pengetahuan, mempelajari cara lain untuk memikirkan suatu ide, dan menjelaskan pemikiran mereka sendiri” (NCTM 1989,26)

Dengan proses seperti di atas rasa pengembangan angka yang dimiliki Susie jelas terlihat ketika memecahkan masalah. Dia tidak hanya menghitung dan mengelompokkan akan tetapi juga menjelajah bagaimana angka-angka dapat dipecah dalam beberapa komponen-dengan kata lain, kombinasi.” Angka-angka yang nyata” mungkin akan lebih berarti bagi Susi sebab dia mengembangkan dasar konsep yang kuat untuk memahami angka-angka yang ada. Standar-standar dokumen menunjukkan kualitas matematika.” Kelenturan dalam menjelajah gagasan matematika dan mencoba metode alternative dalam memecahkan masalah dan menarik, penuh rasa ingin tahu dan menemukan dalam mengerjakan matematika (NCTM 1989, 233).

Di bulan September, kelas Susie diminta untuk memecahkan sebuah versi dari masalah klasik “jabat tangan”: Sembilan sepupu hawai bertemu satu sama lain dalam sebuah pesta keluarga. Apabila setiap orang berciuman satu sama lain, berapa banyak ciuman yang akan diberikan? Sang guru pertama-tama hanya menyediakan tiga sepupu untuk mempermudah tugas. Para siswa memutuskan untuk mencoba untuk memecahkan masalah dengan memainkan peranan sesuai situasi tersebut. Ketika tugas itu selesai. Guru memberikan masalah yang sama dengan lima sepupu. Untuk dipecahkan oleh anak-anak dalam kelompok kecil. Dengan menggunakan metode apa pun yang mereka pilih. Kelompok Susie pertama-tama memutuskan untuk membuat “keponakan” dar balok-balok. Ketika teknik ini tidak membimbing mereka kemana pun, Susie menggambar lima orang dan menggambar garis dari orang ke orang untuk menyediakan bagian ciuman. Dia menjaga rute garis yang digambar dan, sekali lagi, membimbing kelompoknya untuk memecahkan masalah.

Dengan kondisi seperti itu, Susie merasa tidak nyaman dengan berhenti dalam satu titik, guru menyebutkan bahwa masalah yang sesungguhnya adalah sembilan sepupu, kembali, Susie menantang dirinya sendiri untuk meneruskan investigasinya. Dia sukses memecahkan masalah untuk enam, tujuh, delapan dan sembilan sepupu.

Perilaku Susie dalam tugas tersebut menunjukkan kemampuannya untuk menggunakan pemecahan masalah dengan pendekatan untuk menyelidiki dan memahami isi matematika dan mengembangkan serta menerapkan strateginya untuk memecahkan maslah. Hal itu juga menunjukkan secara langsung tidak hanya cara berpikirnya tetapi juga penempatan matematikanya, sebagaimana didefinisikan dalam standar-standar: kegigihannya dalam menyelesaikan tugas matematika, fleksibilitasnya dalam menjelajahi gagasan matemaika, dan kepercayaan dirinya dalam pendekatan tugas matematika.

Hal ini penting untuk menandai bahwa walaupun banyak contoh-contoh sebelumnya dari apa yang dilakukan Susie, contoh-contoh tersebut bukan peristiwa yang terpisah-pisah tetapi mewakili pekerjaan yang dia lakukan dengan konsisten selama tahun-tahun sekolah. Perilakunya merupakan indikator yang memiliki makna dalam banyak kemampuan matematika.

Penampilan matematika Susi, sebagaimana diterangkan di sini banyak mewujudkan atas apa yang penting menurut standar. Dia berpikir dalam, memiliki hasrat yang kuat untuk belajar, dan berusaha keras untuk membuat sense/kesadaran matematik dalam dirinya.

Portrait 2

Di potret sebelumnya, memperkirakan apa yang akan seorang pengamat prediksikan tentang penampilan Susie dalam banyak tugas penilaian tradisional, dalam hal ini sebuah tes terstandar. Potret yang ke dua dari Susie menggambarkan sebuah standar yang ditetapkan yaitu tes matematika yang direferensikan telah disusun untuk Susie sebagai bagian dari persyaratan monitoing federal bagi siswa-siswa dengan kemampuan berbahasa Inggris terbatas. Tes ini diwajibkan sebab Susie datang dari Philiphina dua atau satu setengah tahun yang lalu tanpa sepatah katapun berbahasa Inggris; dan bahasa Inggris tidak dipergunakan di rumahnya. Skore Susie ada dibawah rata-rata, bila melihat skore kasar dari profil tes Susie mungkin akan memberikan pemahaman lebih dalam potret yang sangat berbeda. Skore total membaca Susie adalah 43 dari 103 point, dan skor matematikanya 53 dari 78 point. Kita mungkin berkesimpulan dari data tersebut bahwa kemampuan membaca Susie dapat menjadi faktor yang mempengaruhi skor matematikanya. Skor subtes matematika berikutnya adalah cerminan dari hasil tes yang diperoleh Susie. Dalam subtes hitungan yang memanipulasi angka, skor Susie 17 dari poin 22. Dalam subtes pemecahan masalah, masalah-masalah dibacakan oleh penguji dan jawaban-jawaban semuanya dalam bentuk angka-angka, yang tidak membutuhkan pembacaan. Di bagian ini skor Susie 19 dari 24 poin. Skor terendah yang didapat Susie ada dalam subtes konsep, hanya 17 dari 32 poin. Di bagian ini juga petunjuk dibacakan. Bagaimanapun, mereka berisi beberapa term yang mungkin tidak familiar bagi seorang siswa yang masih belajar bahasa Inggris atau bagi siswa yang perbendaharaan kelas matematikanya berbeda dari yang ditekankan dalam tes. Kata-kata dalam beberapa petunjuk tes juga kelihatan tidak jelas. Akhirnya, banyak dari bagian tes membutuhkan para siswa untuk membaca banyak kata. Dari perbandingan ini. Tidak masuk akal untuk bertanya, apakah subtes tersebut benar-benar mengukur pemahaman konsep matematika Susie atau apakah tes tersebut mengukur kemampuannya untuk memahami kata-kata yang tidak familiar dan mempelajari kata-kata yang tercetak keluar dari kontek? Proses analisis dari sebuah tes merupakan hal yang penting untuk membuat keputusan yang diinformasikan tentang kemampuan matematika siswa. Ketika kita membandingkan hasil skor tes siswa, kita membutuhkan untuk menguji dengan hati-hati tes itu sendiri dan asumsi kita yang diduga sempurna.

Dua potret dari Susie terlihat sangat berbeda. Apa yang kita buat sehingga ada perbedaan? Perbedaan ini merupakan salah satu isu yang serius yang memperlihatkan para pendidik yang tidak mengenali kebutuhan untuk merubah penilaian bersama dengan kurikulum dan pengajaran

Kesesuaian antara kurikulum, pengajaran dan penilaian

Di seluruh Amerika, para guru berusaha untuk mengimplementasikan standar matematika dengan membuat perubahan dalam praktek kelasnya. Akan tetapi, sebagaimana yang ditetapkan standar, perubahan terakhir dapat dibuat hanya ketika penilaian dirubah bersama kurikulum dan proses pengajaran. “aturan evaluasi muncul sebagai sebuah komponen kritis dari perubahan” (NCTM 1989, 189). Penelitian pembelajaran dan penilaian matematika mengindikasikan bahwa tes multiplechoice tradisional tidak cukup untuk mengevaluasi pembelajaran dan pengajaran sebagaimana yang disarankan oleh standar-standar. Pengertian dari mengetahui matematika telah berkembang dari mengetahui hitungan menjadi menciptakan dan menyelesaikan masalah-masalah yang komplek dengan gigih, fleksibel dan percaya diri. Batasan-batasan dari tes yang telah distandarisasi untuk mengukur pembelajaran matematika telah terdokumen dengan baik. Diskusi yang lengkap dari issu ini melingkupi artikel ini, akan tetapi para pembaca yang tertarik akan menemukan banyak sumber yang luar biasa dari informasi selanjutnya, termasuk sebuah analisis dari tes keunggulan standar oleh Romberg and Wilson. The Curriculum and Evaluation Standards (NCTM 1989, 190) menerangkan bahwa:

  • Penilaian siswa harus terintegrasi dengan pembelajaran;
  • Keragaman makna dari metode-metode penilaian yang digunakan
  • Seluruh aspek dari pengetahuan dan yang berhubungan dengan matematika harus dinilai, dan
  • Pengajaran dan kurikulum dipertimbangkan memiliki kesamaan dalam penilaian kualitas program

Keinginan yang kuat dari para guru untuk mengambil pandangan yang menyeluruh dari matematika dan mengembangkan situasi masalah yang mengharuskan para siswa untuk menerapkan sejumlah gagasan matematik. Dengan cara ini, para guru dapat mengambil kesimpulan dengan informasi yang relevan dan bermanfaat, yang akan mmberikan mereka gambaran yang lebih lengkap atas apa yang siswa-siswa mereka tahu dan bagaimana mereka berpikir tentang matematika. Tes standar harus dipikirkan hanya salah satu bagian dari banyak indikator dari pekerjaan siswa.

Sebagai renungan bagi para guru, perubahan kurikulum dan pengajaran secara alami dapat membimbing kepada perubahan penilaian. Sebagaimana para guru merubah praktek kelas mereka untuk menerapkan apa yang direkomendasikan dalam standar, mereka mulai untuk memperhatikan hal-hal yang terjadi dengan siswa-siswa mereka bahwa mereka mungkin tidak pernah memiliki kemungkinan berpikir dan bahwa membuat mereka mereasisasikan kebutuhan yang baru, cara yang lebih autentik untuk mengevaluasi pembelajaran yang terjadi. “ Tujuan utama dari evaluasi adalah membantu para guru agar memahami dengan lebih baik apa yang para siswa ketahui dan membuat keputusan pengajaran yang lebih bemakna. Focusnya terletak dari apa yang terjadi dalam kelas sebagaimana interaksi guru dan siswa (NCTM 1989, 189)

Guru Susie sedang mengalami semacam proses. Dia memiliki pengalaman 15 tahun dan memiliki keyakinan yang kuat dalam pengembangan professional dan riset tindakan . Lebih dari beberapa tahun yang lalu, penelitiannya telah membimbing dia ke arah pengembangan pandangan holistik dalam pembelajaran. Sebagaimana dia merubah pengajarannya di area subjek yang lain, sehingga guru tersebut menjadi merasa tidak nyaman dengan kurikulum matematik tradisionalnya, yang tidak sesuai dengan kepercayaan yang muncul. Dalam sebuah penelitian untuk hal yang lebih baik, dia mulai untuk melakukan penelitian yang tepat dalam pendidikan matematika dan, sebagaimana hasilnya, ada perubahan yang drastis diantara pandangannya terhadap matematika dan kurikulum matematika, tetapi perubahan pandangannya tidak hanya disebabkan atas apa yang dia baca tetapi juga disebabkan oleh apa yang dia pelajari dari pengamatan terhadap Susie dan teman-teman kelasnya dalam memecahkan masalah.

Guru Susie mencoba untuk mengembangkan kurikulum matematika yang terpusat pada pemecahan masalah bukan model kurikulum tradisional, tipe-tipe buku kerja yang tidak kontekstual tetapi yang nyata, masalah yang komplek didasari oleh kehidupan sehari-harinya di kelas, dan dalam masalah klasik yang merupakan bagian dari tradisi matematika. Beberapa dari masalah yang besar, dalam sekilas pertama, dipertimbangkan melebihi level tingkatan dasar siswa. Bagaimanapun, guru tersebut telah menemukan bahwa ketertarikannya dapat memperluas sama halnya apabila itu diterapkan kepada kepada para siswa, sering dengan hasil yang mengejutkan dan menggembirakan, seandainya mereka diadaptasi untuk pengalaman anak dan cukup jelas ada.

Guru mempertimbangkan bahwa tanggung jawabnya untuk mengikat siswa-siswanya dalam tugas matematika memiliki manfaat, sebagaimana dijabarkan dalam standar professional bagi guru matematika dan dia mengembangkan rubriknya untuk membantu usahanya. Dia mencoba untuk menyeleksi tugas-tugas yang dianggap akan menarik, berarti, dan dapat diterima bagi siswa-siswanya dan akan memberikan mereka kesempatan untuk melakukan kerjasama, prosedur dan pemecahan yang berbeda-beda, dan memperluas penyelidikan matematika.

Melalui kurikulum pemecahan masalahnya, guru Susie berusaha untuk menantang siswanya dan membiarkan mereka, seandainya mereka mampu, untuk melampaui apa yang normal diharapkan di level-level tingkatan mereka. Dia mencoba untuk menciptakan lingkungan kelas yang akan memotivasi siswa dan mendorong penyelidikan mereka pribadi, memberikan mereka waktu dan kesempatan untuk merefleksikan kesimpulan mereka. Dia berharap dengan cara ini akan menolong siswa memahami dan meneliti matematika dan membuat mereka merasa nyaman.

Siswa-siswa biasanya bekerja dalam suatu masalah secara berpasangan atau dalam kelompok kecil. Selama kegiatan berlangsung, dia berkeliling diantara kelompok-kelompok, mengamati siswa-siswa, mengambil catatan atas apa yang terjadi, dan memberikan pertanyaan untuk memfasilitasi pemikiran siswa tanpa mengatakan kepada mereka bagaimana memecahkan masalah-masalah. Anak-anak dibiarkan dan diharapkan untuk mengembangkan strategi dan pemecahan mereka sendiri.

Selama periode ini, dilaksanakan pertemuan kelas untuk diskusi diantara anak-anak untuk berbagi penjelasan bagaimana mereka memecahkan masalah-masalah. Diskusi ini merupakan bagian yang penting atas kurikulum pemecahan masalah. Saat itu memberikan anak-anak kesempatan untuk mengungkapkan dan mengkomunikasikan pemikiran mereka, menilai pemikiran mereka, dan merefleksikan apa yang orang lain kemukakan. Hal ini menolong mereka untuk mempelajari beberapa strategi pemecahan masalah satu sama lain dan memperbesar kpercayaan diri dalam kemampuan mereka untuk menggunakan matematika.

Sebagaimana guru Susie mulai untuk merubah kurikulum dan pengajaran matematikanya, dia menyadari bahwa penilaiannya merupakan perubahan yang alami. Untuk menguji dengan lebih dekat apa yang pernyataan ini maksudkan, selanjutnya dapat dilihat cuplikan dari refleksi guru Susie dalam tiga masalah yang didiskusikan lebih awal dan memperlihatkan bagaimana renungan tersebut memberikan masukan bagi kurikulum, pengajaran dan proses penilaiannya

Masalah pertama

Sebelum memulai sebuah pendekatan pemecahan masalah, guru berpikir bahwa dia akan bekerja di luar proporsi diri sendiri, mempercayai bahwa masalah ini akan terlalu sulit untuk para siswanya. Tetapi tekadnya yang kuat ingin mengembangkan kebiasaan menghadapi masalah dalam diri para siswanya, dan mencoba untuk setiap masalah dengan pertanyaan, “apakah ini sesuatu yang dapat para siswa lakukan?” Faktanya, mereka baik-baik saja dengan masalah ini, menggunakan metode yang bervariasi dalam usaha mereka untuk memecahkannya. Beberapa mengembangkan strategi yang baik, menggunakan manipulatives, menggambar, dan model-model, tetapi membutuhkan pertolongan dengan membilang aktual apabila angka-angka menjadi besar.

Dalam penilaian perbuatan siswanya dalam masalah tersebut, guru merekam pengamatannya sebagaimana dia mengawasi mereka bekerja. Sebagai contoh, satu kelompok menggoreskan warna kuning menghubungkan kotak dalam dua set, setiap cube membutuhkan setengah lemon, sebagaimana mereka berusaha untuk menetapkan jumlah yang diinginkan. Kelompok yang lain mencoba menggambarkan cangkir-cangkir. Gambar Susie telah didiskusikan dalam detil. Observasi guru, sepanjang catatan yang ditulis anak-anak, melengkapi dia dengan bukti autentik dari cara anak-anak untuk memecahkan masalah.

Saat sharing time, penyajian setiap kelompok memberikan guru data penilaian selanjutnya. Sebagaimana dia amati dalam penjelasan anak-anak, hal itu menjadikan jelas anak-anak mana yang terlihat memahami masalah, yang dapat mengembangkan strategi untuk memecahkan maslah, dan yang dapat mengkomunikasikan pikiran mereka. Dia mulai melihat dengan jelas apa yang dimaksud dengan penilaian yang bermakna.

Masalah kedua

Sejak guru Susie memulai untuk merealisasikan pentingnya pengembangan dan pemodelan kebiasaan, memposisikan kebiasaan, dia membuat usaha sadar untuk mencari kemungkinan-kemungkinan. Dia melihat dalam masalah ini hubungan yang alami yang tumbuh secara langsung dari bahasa yang ada dalam buku juga melihat nilai matematika dalam kombinasi penjelajahan. Sebaik kesempatan untuk berbicara dan berkolaborasi dalam permainan seperti yang disebutkan dalam konteks.

Masalah ini menolong anak-anak membangun cara pandang dan pemahaman yang baru tentang memperingan sifat-sifat penjumlahan. Ada beberapa moment yang menggembirakan ketika para siswa mulai memahami apa yang terjadi dengan angka-angka dan meneriakkan komentar seperti, “Wow! Ini sesuatu yang terbelakang!” beberapa anak mulai meneliti angka-angka yang lain untuk melihat seandainya pola yang sama terjadi. Setelah beberapa saat, mereka mulai memperkirakan apa yang akan terjadi dan mereka menikmati kekuatan prediksi mereka. Yang lainnya menciptakan perluasan masalah mereka.

Guru Susie dapat mengamati dan mendokumentasikan yang anak-anak teliti dengan angka-angka yang lain untuk pola-pola yang sama dan yang anak-anak dapat perkirakan dan menegaskan perkiraannya. Kesempatan ini memberikan secara langsung kepadanya bukti atas pengembangan matematika para siswa sebaik pemikiran matematikanya. Pengembangan yang dilakukan Susie atas masalah mengatakan pada gurunya rasa ingin tahu dan kelenturan kemampuan matematikanya, sehingga dapat membuktikan usaha Susie dalam membangun pemahamannya atas angka-angka.

Masalah ketiga

Di masalah yang ke tiga guru Susie memakai suatu cerita yang dianggapnya menarik untuk menantang siswanya dengan versi yang telah diadaptasi. Dia yakin para siswa akan dapat melakukannya dan berpikir bahwa hal tersebut akan menyiapkan kesempatan yang baik untuk mengambil keputusan secara logis, proses dan pemecahan yang beraneka ragam, serta diskusi. Dia juga berpikir bahwa hal itu dapat menolongnya untuk lebih mempelajari tentang apa yang para siswa dapat lakukan.

Ternyata para siswa benar-benar menikmati mengerjakan masalah ini dan, seperti yang dia harapkan, mereka melakukan banyak percakapan dan proses mengambil keputusan secara logis. Beberapa kelompok memecahkannya dan beberapa tidak, tetapi itu pun memberikan gambaran siapa yang mendapatkan pengembangan pandangan baru, semacam kebutuhan untuk menjaga alur dengan mencatat kerja mereka dalam cara yang sama (seperti salah satu kelompok berjuang menjaga agar tidak melupakan berapa banyak sepupu yang telah mereka hitung, sehingga salah seorang anak merasa perlu untuk melakukannya sekali lagi dan menuliskannya di kertas kerjanya. Masalah yang diberikan juga menyiapkan tantangan intelektual yang besar untuk beberapa siswa, yang menjalankan masalah itu dalam enam, tujuh, delapan dan Sembilan sepupu, dengan menggunakan metode yang bervariasi.

Ketika guru tersebut lebih dekat dengan apa yang para siswanya lakukan, dia mulai menyadari bahwa penilaian meliputi lebih daripada “mendapatkan jawaban yang benar” atau “meraih score”. Sama juga dengan para siswa yang tidak dapat memecahkan masalah memperlihatkan stategi dan pemecahan masalah secara logis, seperti menjaga alur dalam kertas, yang memberikan guru nilai yang bermakna dalam pengembangan pemikirannya. Tantangan Susie pada dirinya sendiri ketika dia meneliti masalah ini dengan level yang lebih komplek memberikan kenyataan pada gurunya bahwa bukti yang didapat tidak pernah didapatkan dari pertanyaan-pertanyaan atau latihan-latihan yang memerlukan hanya sebuah jawaban yang benar, dengan tidak berarti untuk mempertimbangkan bimbingan dalam berpikir untuk mendapatkan jawaban tersebut.

Penelitian sang guru telah meyakinkannya bahwa bentuk yang beragam dari penilaian dapat menciptakan gambaran yang lebih bermakna dalam pembelajaran para siswanya. Dia juga datang untuk menilai penilaian-penilaian para siswa itu sendiri, mengenali bahwa mereka penting bagi pembelajaran siswa. Daripada memfokuskan dalam jawaban yang salah atau betul, dia mencoba untuk fokus dalam proses pemecahan masalah, menanggapi para siswanya dengan cara –cara yang tidak memutuskan/mengadili sehingga dia berharap akan mendorong mereka untuk merefleksikan pemikiran mereka satu sama lain. Dia mempelajari nilai dari membuka sampai mengakhiri pertanyaan-pertanyaan. Sebagai contoh, dia mungkin bertanya kepada para siswa pertanyaan semacam ini: “apakah ada cara lain yang kamu dapat lakukan?”apa yang kamu pikir yang kamu mungkin kerjakan nanti?” “apa lagi yang kamu suka untuk diketahui?” “apa yang akan kamu buat yang kamu pikir dapat memecahkan masalah ini?” “bagaimana kamu mengetahui ketika kamu telah selesai?”atau “ apa yang kamu telah pelajari?” percakapan-percakapan tersebut juga menjadi bagian dari penilaian guru.

Hal ini penting untuk mengenali bahwa kurikulum, pengajaran dan penilaian memiliki hubungan yang tidak dapat dipisahkan. Seandainya Susie berada dalam kelas tradisional menggunakan buku kerja yang umumnya digunakan di sekolahnya, kurikulum matematikanya hanya sekedar latihan penambahan dan pengurangan, latihan menghapal hitungan, dan penekanan atas kertas dan simbol pensil sebagai simbol dari aturan manipulasi dan hitungan, dengan sedikit perlengkapan untuk mengembangkan konsep-konsep dari aturan tersebut. Tak satupun dalam contoh-contoh sebelumnya merupakan bagian dari kurikulum matematika, dan Susie tidak akan memiliki kesempatan untuk mendemonstrasikan kedalaman pemahaman matematikanya.

Potret ke depan

Ketika score test digunakan untuk membuat penilaian tentang seorang siswa, penting untuk menguji tes tersebut dengan hati-hati dalam sudut pandang kurikulum dan pengajaran yang para siswa sedang alami. Tes skore Susie, yang hanya berupa angka, tidak akan memberikan gambaran yang tepat atas apa yang dia kerjakan dalam situasi matematika yang otentik. Hal itu tidak akan menceritakan tentang kecenderungan matematikanya, pemikirannya, fleksibilitasnya, atau komunikasinya atas gagasan matematikanya. Tes yang biasa tidak akan memperkenankan dia untuk memperlihatkan kekayaannya, kebiasaan yang komplek yang dapat menunjukkan kualitas-kualitasnya merupakan hal yang dinilai oleh standar. Skor tes susi hanya sebuah gambaran bukan harus salah satu yang benar !

Dua gambaran Susie di masa depan adalah sesuatu yang mungkin. Penjelasan yang pertama yang mungkin terjadi padanya seandainya fokus penilaian ditempatkan hanya pada skor tes matematikanya. Penelitian telah memperlihatkan bahwa terlalu sering para siswa dengan skor seperti Susie berakhir di kelas remedial, dimana mereka mungkin tidak tertantang untuk mengembangkan kemampuan mereka yang sebenarnya (Hill 1993; Oakes 1985; Smith 1986). Walaupun pemikiran penuh dari para guru mungkin tidak begitu saja menerima tes skor, terlalu banyak sekolah yang melanjutkan untuk menggunakan skor tersebut untuk mengelompokkan siswa, dimulai di tingkatan awal. Hal ini mungkin akan menempatkan Susie di kelas matematika yang lebih rendah atau kelas yang biasa, jika dia pindah mlewati tingkatan-tingkatan. Mungkin tak seorangpun akan mendorong dia untuk pergi ke perguruan tinggi sebab dia tidak akan memiliki kesempatan untuk memperlihatkan kehebatan pemikirannya, dengan tak dapat dihindarkan dan patut disesalkan atas semuanya, dia mungkin akan mulai berpikir atas dirinya sendiri sebagai pelajar dengan kemampuan yang rendah. Anak-anak yang di putuskan dan dilabeli dengan skor tes mereka biasanya berakhir dengan mendefinisikan mereka sendiri dalam kondisi seperti itu. Skor mereka menjadi kemampuan meramal mereka sendiri (Fair test 1991;Neill 1989; Oakes 1985; Smith 1986). Sekilas pertama gambaran ini mungkin terlihat sederhana, bukan suatu kasus yang penting. Orang-orang yang telah memiliki pengalaman ini mungkin telah melakukannya juga.

Yang kedua, lebih disukai, gambaran di masa depan dari Susie, gurunya akan melanjutkan untuk mendukung dan mendorong pengetahuan matematikanya, untuk merealisasikan kemampuannya, dan mengenali bahwa pendidikannya dapat membimbingnya dalam kesempatan yang tidak terbatas. Apa yang Susie dapat lakukan seharusnya digunakan oleh gurunya sebagai sebuah petunjuk atas apa yang dia mungkin kerjakan nanti dan bagaimana dia dapat dibantu untuk melakukan itu, pemikiran dan kreatifitasnya akan didorong melalui pengetahuan yang relevan dalam kehidupan pengalaman matematika yang sesungguhnya.

Sebagaimana yang ditetapkan dalam Standar kurikulum dan evaluasi bahwa ujian-ujian membutuhkan perubahan…sebagaimana kurikulum yang berubah, begitu juga dengan ujian. Ujian-ujian yang ada harus berubah sebab mereka berdasarkan atas perbedaan pandangan atas pengertian tentang belajar dan mengetahui matematika (NCTM 1989,189-190). Apabila penuh makna, perubahan terakhir dibuat dalam pendidikan matematika, para guru harus bertanggung jawab untuk menyesuaikan antara kurikulum, pengajaran dan penilaian. Mereka harus lebih banyak mempelajari cara-cara untuk mengungkapkan dan memperlihatkan apa yang para Susie dan siswa lainnya dapat benar-benar lakukan dan membantu mereka dalam cara unik mereka dalam belajar. Hanya dengan demikian potret dari Susie, yang didukung oleh standar-standar, dapat menjadi kenyataan.


PEMBAHASAN

Jurnal ini membahas tentang mengenai proses penilaian yang dilakukan oleh seorang guru terhadap peserta didiknya yang diawali dengan perubahan kurikulum yang dapat memenuhi standar-standar yang telah ditetapkan dan yang terutama dapat mendorong peserta didik mengungkapkan dan mengembangkan kemampuannya dalam memecahkan suatu masalah dengan metode yang berbeda dan dengan cara yang menyenangkan.

Setelah meneliti hasil dari penilaian yang berdasarkan kurikulum tradisional yang kemudian diterapkan dengan praktek pengajaran secara tradisional pula didapatkan hasil penilaian yang tidak memuaskan karena tidak dapat memberikan gambaran yang menyeluruh dari kondisi siswa. Berdasarkan pengalaman dan hasil penelitiannya guru tersebut memutuskan untuk merubah kurikulumnya. Kurikulum yang kemudian dipergunakan guru tersebut adalah kurikulum yang terpusat pada problem solving yang kemudian dijabarkan dalam kegiatan pembelajaran dengan memberikan masalah yang mendekati realita kehidupan siswa sehari-hari.

Dalam kegiatan pertama guru dapat menilai bahwa siswa dapat mengembangkan dan menerapkan strategi yang diketahuinya untuk memecahkan masalah dengan menghubungkan gambar dan diagram untuk tujuan matematika, memverifikasi dan menerjemahkan hasilnya, kemudian mengkomunikasikan pikirannya.

Di kegiatan kedua guru dapat melihat dan menilai kelenturan siswa dalam menjelajah gagasan matematika dan mencoba beberapa metode alternatif dalam memecahkan masalah dan siswa menunjukkan rasa ketertarikannya, penuh rasa ingin tahu dan menemukan jalan dalam mengerjakan tugas.

Pada kegiatan berikutnya guru dapat menilai perilaku siswa dalam tugas tersebut yang menunjukkan kemampuannya untuk menggunakan pemecahan masalah dengan pendekatan untuk menyelidiki dan memahami isi matematika dan mengembangkan serta menerapkan strateginya untuk memecahkan maslah. Hal itu juga menunjukkan secara langsung tidak hanya cara berpikir siswa tersebut tetapi juga penempatan matematikanya, sebagaimana didefinisikan dalam standar-standar NCTM: kemauan yang kuat dalam menyelesaikan tugas matematika, fleksibilitasnya dalam menjelajahi gagasan matemaika, dan kepercayaan diri dalam pendekatan tugas matematika.

Penelitian sang guru telah memberikan keyakinan pengembangan kurikulum yang terpusat pada pengembangan potensi siswa dan penerapan proses pembelajaran yang memberikan dorongan dan motivasi serta bentuk yang beragam dari penilaian dapat menciptakan gambaran yang lebih bermakna yang dapat mengungkapkan seluruh potensi yang dimiliki siswa

Penilaian yang berbeda yang diterapkan kepada siswa akan memberikan gambaran yang berbeda pula. Pada skor tes yang bersifat tradisional hanya menggambarkan siswa berdasarkan nilai skor, sedangkan dengan penilaian yang beragam dari berbagai aspek dapat menggambarkan kondisi siswa secara lebih menyeluruh.

Kondisi tersebut dapat menjadi rujukan untuk menguji suatu tes, ketika skor tes digunakan untuk menilai siswa. Skor tes siswa, yang hanya suatu angka, tidak akan memberikan gambaran yang tepat atas apa yang siswa tersebut kerjakan dalam situasi matematika yang otentik. Hal itu tidak akan menceritakan tentang kecenderungan siswa tersebut, pemikirannya, fleksibilitasnya, atau komunikasinya dalam mengungkapkan gagasan. Tes yang biasa tidak akan memperkenankan siswa untuk memperlihatkan kekayaannya, kebiasaan yang komplek yang dapat menunjukkan kualitas-kualitasnya dimana hal itu merupakan sesuatu yang dinilai oleh standar. Efek negative dari penggunaan skor tes adalah anak-anak yang di putuskan dan dilabeli dengan skor tes biasanya berakhir dengan mendefinisikan mereka sendiri dalam kondisi seperti itu.

Apa yang dilakukan oleh sang guru merupakan gambaran dari keinginannya yang kuat untuk mendorong siswanya untuk meraih pendidikan yang terbaik, mengalami proses pembelajaran yang menyenangkan dan mendapatkan penilaian yang adil serta mengaktualisasikan dirinya dengan bermacam potensi yang dimilikinya.

Hakikatnya penilaian merupakan rangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis, dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan, keputusan dalam mengembangkan kurikulum yang tepat, menerapkan pengajaran dan penilaian yang bermakna.

Penilaian adalah proses sistematis meliputi pengumpulan informasi (angka, deskripsi verbal), analisis, dan interpretasi informasi untuk membuat keputusan. Penilaian juga menjawab pertanyaan tentang sebaik apa hasil atau prestasi belajar peserta didik. Hasil penilaian dapat berupa nilai kualitatif (pernyataan naratif dalam kata-kata) dan nilai kuantitatif (berupa angka).

Implementasi Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 2005 tentang Sistem Pendidikan Nasional membawa implikasi terhadap model dan teknik penilaian yang dilaksanakan di kelas.

Penilaian terdiri atas penilaian eksternal dan penilaian internal. Penilaian

eksternal merupakan penilaian yang dilakukan oleh pihak lain yang tidak melaksanakan proses pembelajaran. Penilaian eksternal dilakukan oleh suatu lembaga, baik dalam maupun luar negeri dimaksudkan antara lain untuk pengendali mutu. Sedangkan penilaian internal adalah penilaian yang direncanakan dan dilakukan oleh guru pada saat proses pembelajaran berlangsung.

Penilaian kelas merupakan bagian dari penilaian internal (internal assessment) yang dilaksanakan dalam rangka untuk mengetahui hasil belajar peserta didik terhadap penguasaan kompetensi yang diajarkan oleh guru. Tujuannya adalah untuk menilai tingkat pencapaian kompetensi peserta didik yang dilaksanakan pada saat pembelajaran berlangsung dan akhir pembelajaran.

Penilaian kelas merupakan suatu kegiatan guru yang berkaitan dengan pengambilan keputusan tentang pencapaian kompetensi atau hasil belajar peserta didik yang mengikuti proses pembelajaran. Untuk itu, diperlukan data sebagai informasi yang diandalkan sebagai dasar pengambilan keputusan.

Data yang diperoleh guru selama pembelajaran berlangsung dijaring dan dikumpulkan melalui prosedur dan alat penilaian yang sesuai dengan kompetensi

atau indikator yang akan dinilai. Dari proses ini, diperoleh potret/profil kemampuan peserta didik dalam mencapai sejumlah standar kompetensi dan kompetensi dasar yang dirumuskan dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan masing-masing.

Penilaian kelas merupakan suatu proses yang dilakukan melalui langkah-langkah perencanaan, penyusunan alat penilaian, pengumpulan informasi melalui sejumlah bukti yang menunjukkan pencapaian hasil belajar peserta didik, pengolahan, dan penggunaan informasi tentang hasil belajar peserta didik. Penilaian kelas dilaksanakan melalui berbagai teknik/cara, seperti penilaian unjuk kerja (performance), penilaian sikap, penilaian tertulis (paper and pencil test), penilaian proyek, penilaian produk, penilaian melalui kumpulan hasil kerja/karya peserta didik (portfolio), dan penilaian diri.

Penilaian hasil belajar baik formal maupun informal diadakan dalam suasana yang menyenangkan, sehingga memungkinkan peserta didik menunjukkan apa yang dipahami dan mampu dikerjakannya. Hasil belajar seorang peserta didik dalam periode waktu tertentu dibandingkan dengan hasil yang dimiliki peserta didik tersebut sebelumnya dan tidak dianjurkan untuk dibandingkan dengan peserta didik lainnya. Dengan demikian peserta didik tidak merasa dihakimi oleh guru tetapi dibantu untuk mencapai kompetensi atau indikator yang diharapkan (Puskur Depdiknas 2006,4)

Merujuk pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2007 tentang standar penilaian pendidikan yang menyebutkan bahwa penilaian pendidikan adalah proses pengumpulan dan pengolahan informasi untuk menentukan pencapaian hasil belajar peserta didik. Dari pengertian tersebut dapatlah diambil kesimpulan bahwa penilaian menurut peraturan dan standar penilaian pendidikan tersebut memiliki orientasi kepada hasil belajar. Berbeda halnya dengan yang dilakukan oleh guru dalam jurnal tersebut dimana orientasi penilaian dititik beratkan pada proses belajar.

Dalam Permendiknas No. 20 tahun 2007 juga dikatakan bahwa penilaian hasil belajar oleh pendidik menggunakan berbagai teknik penilaian berupa tes, observasi, penugasan perseorangan atau kelompok, dan bentuk lain yang sesuai dengan karakteristik kompetensi dan tingkat perkembangan peserta didik. Apabila mengamati apa yang dilakukan guru Susie sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya penilaian tersebut menggunakan teknik observasi dimana penilaian dilakukan melalui pengamatan terhadap kinerja, minat, dan atau sikap peserta didik . Penilaian yang dilakukan juga dilakukan dengan teknik penugasan yaitu penilaian yang dapat dilakukan secara individual atau kelompok, dan dapat berupa projek, produk atau portofolio.

Tindakan yang dilakukan guru Susie merupakan proses penilaian kelas dan penilaian yang dilakukannya sesuai dengan konsep dasar penilaian kelas yang disusun oleh Pusat Kurikulum Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas Indonesia. Yang menjadi pertanyaan apakah guru-guru di Indonesia telah melaksanakan konsep tersebut?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut berikut ini hasil dari penelitian yang dilakukan oleh Lely Halimah, dkk yang melakukan studi di Sekolah Dasar di Bandung (lppm.upi.edu/penelitian/abstract/Lely%Halimah% (FIP)%20Hiber.doc: 2007):

Dilihat dari pemahaman guru-guru tentang penilaian berbasis kelas seiring dengan kebijakan KBK, tampaknya pemahaman tentang penilaian berbasis kelas yang dimiliki oleh guru-guru tersebut masih dangkal. Artinya baru sampai memahami secara garis besar, belum memahami secara mendalam bahwa penilaian berbasis kelas merupakan suatu kegiatan pengumpulan informasi tentang proses dan hasil belajar siswa yang dilakukan oleh guru yang bersangkutan sehingga penilaian tersebut akan mengukur apa yang hendak diukur.

Hasil penelitian yang dilakukan di atas meskipun dapat menjadi gambaran akan tetapi tidak dapat menjadi ukuran untuk kondisi di negara ini secara lebih menyeluruh sehingga penting untuk dikaji lebih lanjut bagaimana sistem penilaian yang berlaku di sekolah-sekolah mengingat bahwa konsep dasar dari penilaian tersebut telah diterbitkan sejak tahun 2007.


KESIMPULAN

Kualitas pendidikan yang diraih oleh sekolah pada prinsipnya adalah merupakan hasil kerja guru sebagai faktor utama dalam implementasi kurikulum di sekolah.

Penilaian hasil belajar peserta didik dilakukan oleh guru untuk memantau

proses, kemajuan, perkembangan hasil belajar peserta didik sesuai dengan potensi yang dimiliki dan kemampuan yang diharapkan secara berkesinambungan. Penilaian juga dapat memberikan umpan balik kepada guru agar dapat menyempurnakan perencanaan dan proses pembelajaran.

Agar tujuan penilaian tercapai, guru harus menggunakan berbagai metoda dan teknik penilaian yang beragam sesuai dengan tujuan pembelajaran dan karakteristik pengalaman belajar yang dilaluinya. Oleh sebab itu, guru hendaknya memiliki pengetahuan dan kemahiran tentang berbagai metoda dan teknik penilaian sehingga dapat memilih dan melaksanakan dengan tepat metoda dan teknik yang dianggap paling sesuai dengan tujuan dan proses pembelajaran, serta pengalaman belajar yang telah ditetapkan.

Penyusunan perencanaan, pelaksanaan proses, dan penilaian merupakan

rangkaian program pendidikan yang utuh, dan merupakan satu kesatuan yang

tidak bisa dipisahkan satu dengan yang lainnya. Keterkaitan dan keterpaduan antara penilaian, proses belajar mengajar dan penyusunan perencanaan dapat digambarkan pada siklus di bawah ini.









Pengembangan kurikulum, penyusunan Silabus

(Rencana Mengajar)

Proyek Belajar Mengajar

Analisis & Umpan Balik

Penilaian

Berbasis Kelas









Secara umum guru memiliki tiga peran yaitu sebagai pemimpin, pendidik, dan sudah barang tentu sebagai pengajar. Sebagai pemimpin guru bertanggung jawab penuh atas situasi dan kondisi kelasnya dimana dalam setiap kejadian yang terjadi pada siswa, guru harus mengetahuinya. Sebagai seorang pendidik, guru selain harus memiliki kualitas kepribadian prima dan matang juga harus memiliki keinginan yang kuat untuk mengantarkan siswanya menjadi manusia dewasa yang cerdas dan berbudi luhur atau manusia yang secara kognitif, psikomotorik, dan afektif berkembang secara seimbang. Dalam hal peranannya sebagai pengajar, guru harus menguasai dan mempraktekkan secara terampil kemampuan-kemampuan dalam tugas pokoknya yaitu merumuskan tujuan pendidikan, mengembangkan kurikulum yang sesuai dengan siswa, memilih dan menjabarkan materi , menentukan metode mengajar, menentukan media, melakukan penilaian dan evaluasi.

Memperhatikan peran-peran guru tersebut, maka sebagai guru harus memiliki keterampilan dalam menyesuaikan antara kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian terhadap anak didik, sehingga dapat mengungkapkan serta menilai pemahaman dan kemampuan siswa dalam pembelajaran dengan cara membangun praktek pembelajaran yang lebih efektif, menyenangkan dan membangkitkan rasa ingin tahu anak serta menyelenggarakan penilaian yang dapat mengungkapkan seluruh potensi anak didik serta dapat menjadi pedoman dalam mengembangkan kurikulum selanjutnya.

Guru sebagai individu yang memiliki peran strategis dalam proses pendidikan harus mempertimbangkan bahwa kurikulum, pengajaran dan penilaian siswa harus sesuai satu sama lain agar dapat membuat perubahan dalam pendidikan.

Dengan penyusunan kurikulum dan proses pembelajaran yang dilaksanakan melalui kegiatan yang relevan dengan pengalaman kehidupan yang sesungguhnya dan penilaian yang beragam serta tepat dapat mendukung dan mendorong pengetahuan siswa, untuk merealisasikan kemampuannya, mengungkapkan ide dan gagasannya, memecahkan masalah dengan cara yang berbeda akan membuat siswa mengembangkan kemampuan serta potensi yang dimilikinya, menghubungkan pengalaman selama tahun-tahun yang dilaluinya di sekolah dengan pengalaman kehidupannya, menikmati proses pembelajaran yang diselenggarakan, merasakan pendidikan yang bermakna yang dapat mengembangkan rasa percaya diri serta mengenali bahwa pendidikan yang diperolehnya dapat membimbingnya dalam kesempatan yang tidak terbatas.

Pengembangan kurikulum yang kaya, proses pengajaran yang menyenangkan dan penilaian yang bermakna akan dapat diraih apabila guru yang bersangkutan memiliki keinginan yang kuat untuk memberikan pendidikan yang terbaik bagi siswa-siswanya.